Kesamaan Identitas Masih Menjadi Faktor Penentu Kemenangan Sebuah Pemilu

Oleh : Deni Fazri—1706074303
Pilkada serentak 2018 akan dilaksanakan dalam beberapa minggu lagi. Mendekatnya jadwal pemilu tersebut, banyak lembaga survei dan pengamat politik yang sedang mempertimbangkan siapa yang akan menjadi pemenang dalam Pilkada 2018 tersebut. Pertimbangan tersebut melihat dari berbagai faktor dan jejak rekam dari para kandidat untuk dapat memprediksikan siapa yang akan menjadi kepala dan wakil kepala daerah. Ada 5 faktor kemenangan dalam pemilihan presiden tahun 2014 yaitu peran media sosial, pencitraan figur, low profil,  program yang realistis dan keberhasilan kinerja,  (Joko Susilo, 2014).
Dari ke-5 faktor yang disebutkan oleh Joko Susilo tersebut, masih ada faktor yang belum disebutkan dan bahkan menjadi faktor penentu kemenangan dalam setiap pemilihan umum yaitu faktor kesmaan Identitas. Identitas  merupakan refleksi diri atau cerminan diri yang berasal dari keluarga, gender, budaya, etnis dan proses sosialisasi (Stella Toomey, 1972). Sedangkan Kesamaan Identitas adalah kesamaan diri mengenai keluarga, gender, budaya, etnis dan proses sosialisasi terhadap orang lain. Kesamaan Identitas menjadi sangat berpengaruh  dalam voting behavior karena dalam perilaku suatu individu akan menentukan pilihannya atau mengambil keputusan untuk menyelesaikan masalah berdasarakan dengan kesamaan atau dalam Psikologi Sosial dikenal dengan Representativeness Heuristic.
Selain faktor kesamaan identitas, faktor-gfaktor lain memiliki kelemahan dan tidak bisa diterapkan dalam setiap pemilu, seperti ke-5 faktor yang telah disebutkan oleh Joko Susilo diatas. Faktor media sosial dan pencitraan figur adalah dua faktor yang tidak dapat dipisahkan. Tanpa adanya media sosial, pencitraan figure tidak akan memberikan dampak terhadap jumlah suara yang diraih. Namun akhir-akhir ini banyak masyarakat yang sadar akan peran media sosial, dimana suatu calon yang akan maju dalam pemilu akan selalu eksis di media sosial untuk meningkatkan elektabilitasnya. Sedangkan faktor low profil bukanlah suatu alasan kemenangan dalam suatu pemilu. Low profil akan sangat merugikan paslon, apabila latarbelakang paslon memiliki nilai plus daripada paslon lainnya. Disamping itu, Faktor program yang realistis yang disosialisasikan kepada masyarakat pada saat kampanye bukanlah suatu jaminan kemenangan dalam pemilu. Faktanya pada Pilkda DKI 2107 banyak pengamat yang mengatakan program yang ditawarkan oleh paslon Anies-Sandi tidak realistis, namun pada putaran ke-2  paslon Anies-Sandi menang telak dengan meraih suara sebesar 58%.
Faktor keberhasilan kinerja yang diungkapkan oleh Joko Susilo adalah Keberhasilan kinerja yang telah dilakukan oleh JokoWidodo semenjak terpilih menjadi Walikota Solo dan menjadi Gubernur DKI Jakarta. Namun keberhasilan kinerja bukanlah menjadi faktor kemenangan dalam suatu pemilu. Hal itu telah terbukti dalam pemilihan presiden di Prancis pada tahun 2017 yang dimenangkan oleh Emmanuel Macron. Pada kenyataannya Emmanuel Macron belum pernah menjadi pemimpin yang dipilih secara langsung oleh rakyat seperti halnya Joko Widodo dan Emmnuel Macron belummembuktikan kinerjanya secara langsung kepada masyarakat Prancis.
Kembali lagi pada topik pemilihan presiden Indonesia tahun 2014 yang dimenangkan oleh Pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Apabila kita melihat latarbelakang suku dari Jokowi dan Jusuf Kalla dimana Jokowi berasal dari Suku Jawa dan JK yang berasal dari Suku Bugis. Ternyata kesamaan indentitas suku pun mempengaruhi jumlah suara yang di dapatkan oleh pasangan Jokowi-JK. Seperti di Jawa Tengah yang mayoritas bersuku Jawa, pasangan Jokowi-JK mendapatkan suara 66.65%. Sedangkan di Sulawesi Selatan yang mayoritasi bersuku Bugis, pasangan Jokowi-JK mendapatkan suara lebih besar lagi daripada di Jawa Tengah yaitu sebesar 71,43%. Meskipun kesamaan identitas berpengaruh pada pemilu 2014, nyatanya sampai saat ini masih berpengerauh  dalam faktor kemenangan pemilihan umum lainnya.
Sumber  : BBC 2017
Sumber : BBC 2017
Berlanjut ke Pilkada DKI Jakarta tahun 2017, Seruan untuk memilih pemimpin beradasarkkan kesamaan identitas semakin gencar disosialisasikan oleh beberapa golongan, terlebih lagi ketika banyak spanduk yang bertebaran di gang-gang kecil dan bersampingan dengan mesjid yang bertuliskan “Mesjid ini tidak akan meyolatkan jenazah yang memilih penista agama / beda agama”. Dari tulisan tersebut secara otomatis banyak masyarakat yang terpengaruh oleh tindakan seperti itu, jika tadinya mereka sudah memiliki keyakinan  untuk memilih pasangan calon yang berbeda dari lingkunannya, maka untuk menghindari sanksi sosial yang dibuat oleh masyarakat sekitar, sebagian orang yang telah memiliki pilihan yang berbeda akhirnya berpindah haluan untuk mengikuti perintah sesuai dengan pilihan yang disepakati oleh masyarakat sekitar. Jika dikaitkan dengan  teori-teori psikologi sosial lainnya contoh kasus yang terjadi di DKI merupakan teori konformitas, dimana  konformitas adalah suatu jenis pengaruh sosial ketika seseorang mengubah sikap dan tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada.
Lebih jauh lagi, apakah faktor kesamaan identitas hanya berlaku di Indoneisa saja? Ternyata faktor kesamaan identitas pun tidak hanya terjadi di Indonesia saja, melainkan di Israel pun demikian. Namun di Israel perilaku memilih akan dipengaruhi oleh kesamaan ras. Keturunan Arab akan lebih memilih kandidat yang berasal dari keturunan Arab dari pada memilih kandidat yang berasal dari keturunan  Bangsa Yahudi (Dahan, 2009). Hal itu terlihat dari suatu lingkungan yang didominasi oleh keturunan Bangsa Arab, lebih dari 50% dari penduduk tersebut lebih memilih kandidat yang berasal dari keturunan Arab dari pada kandidat yang berasal dari Keturunan Bangsa Yahudi. Sehingga dari data tersebut dapat dilihat bahwa kesamaan identitas masih menjadi faktor yang mempengaruhi sesorang dalam memilih suatu pemimpin.

Sumber : Nbcnews.com 2016
Selain kesamaan identitas suku, agama dan ras yang menjadi faktor pengaruh kemenangan dalam Pilpres 2014 dan Pilkada DKI Jakarta 2017 yang terjadi di Indonesia dan Israel, faktor kesamaan identitas seperti gender (golongan) pun masih terjadi di negara yang dinilai tingkat demokrasinya paling baik seperti Amerika Serikat sekali pun masih dipengaruhi oleh kesamaan identitas. Pada tahun 2016 lalu, dimana Pemilih laki-laki 58% memilih  Donald dan 42% memilih Hillary Clinton. Hal tersebut berbanding terbalik dengan pemilih perempuan, dimana 58% Hillary Clinton dan 42% memilih Donald Trump. Artinya dari data tersebut menunjukan bahwasanya memilih suatu kandidat pemilu di Amerika pun masih melihat dari kesamaan indetitas gendernya.

Meskipun saat ini banyak kelompok yang terus mensosialisasikan dan  mengkampanyekan akan memilih seorang pemimpin harus berdasarkan kapabilitas dan kualitas kinerjanya tanpa harus melihat apa identitasnya dan dari mana asalnya. Hal itu tidak mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihannya agar memilih paslon yang mempunyai kapabilitas dan kualitas lebih dari kandidat lainnya. Karena dalam teori psikologi sosial yang fenomena tersebut dikenal dengan representativeness heuristic. Sehingga dari berbagai contoh yang telah disebutkan diatas, faktor kesamaan identitas bukan hanya terjadi di Indonesia saja, melainkan di berbagai negara seperti Amerika Serikat dan Israel.  Pada akhirnya faktor kesamaan identitas yang dilataabelakangi oleh suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) dan lingkungan masih menjadi  faktor utama dalam menentukan seorang pemimpin.

Refrensi :
Kassin. (2014). Social Psychology 9th Edition. United States: Wadeshworth.  ISBN-13: 978-
1-133-95775-1
Larry A. Samovar. (2009). Communication Between Cultures. Cengage Learning. hlm. 154-
161. ISBN 0495567442.
M. Dahan. (2010). Social identity and voting behavior. The Hebrew University of Jerusalem:
© Springer Science+Business Media, LLC 2010. Public Choice (2012) 151:193–214 Diakses dari https://remote-lib.ui.ac.id:2069/content/pdf/10.1007%2Fs11127-010-9742-2.pdf
M. Saleh. (2014) . Ini hasil lengkap Pilpres di 33 Provinsi, Jokowi menang 53,15%.
Hannah Hargit. (2016). Poll: Americans Now Split on Who They Think Will Win 2016
Lestari. (2017 Maret 24). Isu SARA meningkat di Pilkada DKI Jakarta, salah siapa?.
Purwadi. (2014 Juli 24). Lima Faktor Mengapa Jokowi Menang Pilpres.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Universitas Indonesia : Maaf, Anda belum lulus seleksi masuk kali ini

Backpacker ke Bali 2016, cukup 675K!!!

Cara Membuat Visa Lithuania